Senin, 03 Januari 2011

GADO-GADO TAK USAH DI BACA KALAU MEMBUAT ANDA PUSING


Diskusi Agama Bukan dengan Iman!

“Kontroversi. Nyeleneh. Ngawur. Tidak tau agama! Belajar lagi! Semoga Tuhan akan menunjuki anda ke jalan yang benar.” Lebih kurang itulah kata-kata yang ditulis jika situasi diskusi dan debat agama sudah memanas di Kompasiana.

Secara psikologisi saya bisa memaklumi kenapa kata-kata seperti itu muncul. Yaitu sebuah ekspresi rasa cinta seseorang pada agama yang diyakininya. Meskipun apa makna dan ukuran sesungguhnya dari cinta pada agama itu sendiri masih bisa diperdebatkan. Benarkah itu wujud kencitaan pada agama? Ini tentu bisa dibahas secara khusus. Tapi di sini saya hanya ingin melihat hubungan diskusi agama dengan iman. Benarkah pernyataan iman, hujatan iman, melambangkan bahwa seseorang itu beriman? Atau, yang jadi penekanan pada tulisan ini, apa sesungguhnya yang dibutuhkan dalam diskusi agama: Iman atau cara berpikir?

Diskusi agama bukan cermin iman. Tapi adalah cara berpikir

Saya bisa saja menulis bahwa saya sangat beriman. Saya bisa menyatakan dimana-mana, dalam tulisan, dalam komentar, dalam debat, dan seterusnya bahwa saya sangat beriman pada Alquran, pada Islam, pada Alkitab, pada Yesus, pada Buddha dan seterusnya. Tapi benarkah pernyataan itu iman saya? Bagi saya tidak.

Saya bisa keluar masuk banyak agama dalam satu hari. Pagi hari saya menyatakan saya beriman pada Islam. Siang saya nyatakan saya beriman pada Yesus. Malam saya nyatakan saya beriman pada Buddha. Dan seterusnya. Hanya semudah menuliskannya. Tapi tidak ada yang tahu mana yang saya yakini. Yang tahu adalah diri saya sendiri dan Tuhan.

Itu sebabnya saya tidak begitu peduli seheroik apapun pernyataan seorang Kompasianer atas iman. Bukan berarti saya mengeneralisir semua pernyataan iman itu palsu. Karena bisa jadi ada Kompasianer yang sungguh-sungguh dengan apa yang ditulisnya. Tapi asumsi saya adalah bahwa dibalik pernyataan iman seseorang dalam diskusi agama, disadari atau tidak, secara psikologis bisa menyelinap sekian banyak kepentingan tersembunyi. Misalnya untuk menegaskan identitasnya, untuk proteksi, untuk menyalurkan promosi, untuk agamaisasi (Islamisasi dan Kristenisasi secara tidak langsung). Atau untuk menyalurkan sindiran halus, rasa gerah, rasa terancam (mekanisme pertahanan psikologis) dan rasa benci terhadap orang lain yang berbeda pandangan dan keyakinan dengannya.

Diskusi agama bukan cermin iman. Tapi adalah pantulan dari cara berpikir

Iman, sejauh yang saya pahami adalah sikap bathin. Apa yang diakui, apa yang dipercayai seseorang akan Ketuhanan, akan sesuatu yang melampaui segala yang ada. Pencipta dan yang mengatur alam semesta dan seterusnya. Apa pun istilahnya. Yang jelas penghayatan dan pengakuan seseorang akan sesuatu dibalik segala yang ada. Dan itu? Bergetar dalam hatinya. Walaupun tidak dinyatakan secara lisan dan tertulis. Walaupun dia seorang yang bisu dan tuli. Karena itu iman bagi saya adalah sebuah rasa yang bisu. Tanpa tulisan tanpa suara.

Pernyataan iman, jika seseorang jujur, bisa jadi merupakan pantulan dari sikap bathinnya. Tapi melulu menyandingkan pernyataan dan pendapat seseorang dengan iman, bagi saya terlalu tergesa-gesa. Mungkin juga tergolong ceroboh.

Saya lebih cendrung berpendapat bahwa dalam diskusi agama, yang muncul adalah cara berpikir seseorang. Walaupun topiknya adalah agama, Tuhan dan iman, tapi apa yang ditulisnya tentang semua itu adalah pantulan dari cara berpikirnya. Bukan pantulan dari imannya. Pernyataan dan pendapat yang tidak bermutu seorang Kompasianer dalam sebuah diskusi, bukan gambaran kualitas imannya. Begitu juga sebalilknya. Argumentasi yang canggih sekalipun bukan otomatis menggambarkan kecanggihan imannya. Artinya diksusi agama bukanlah lambang iman. Tapi adalah lambang cara berpikir.

Kenapa sebuah diskusi menjadi debat kusir? Kenapa diskusi agama bisa menjadi ngawur? Kenapa diskusi agama bisa menjadi perang tempur? Padahal pesertanya mengaku pada beriman. Pada taat beribadah dan seterusnya. Menurut saya karena cara berpikirnya belum memadai untuk berdiskusi. Ada mekanisme dan alur yang tidak mereka pahami. Dan semua itu? Tidak didapat dengan iman. Tapi dengan belajar. Dengan mengasah ketajaman berpikir.

Tidak sulit membuktikan hal ini bagi saya. Almarhumah nenek saya, begitu jernih memandang segala sesuatu, begitu rendah hati, begitu taat beribadah. Tapi begitu saya bertanya sesuatu hal tentang agama, saya sering tertawa geli mendengar jawabannya. Lucu dan ngawur. Tapi di lain waktu saya mengenal seorang teman yang begitu cerdas, apapun pertanyaan saya bisa dijawabnya dengan tuntas dan meyakinkan. Tidak ada celah bagi saya untuk membantahnya. Tapi dia sendiri mengaku tidak meyakini ibadah agama itu ada gunanya. Dia meyakini bahwa kepercayaan akan Tuhan itu tidak begitu berpengaruh dalam hidup. Dan itu terbukti dalam kesehariannya yang tidak begitu peduli dengan segala ritual seremionial agama. Tapi bila diskusi soal agama, iman dan sejenisnya, dia sangat fasih, mengagumkan sekali. Dan saya banyak terinspirasi dari pandangannya, walaupun dia sendiri tidak mengamalkannya.

Tapi kedua contoh itu sangat ekstrem. Tentu saja ada graduasi model keyakinan dengan cara berpikir pada banyak orang. Dengan perbandingan dan intesitas yang sangat bervariasi. Tapi intinya, saya berpendapat, segala pernyataan, pertanyaan dan pendapat Kompasianer dalam diksusi agama lebih mencerminkan cara berpikirnya. Bukan imannya.

Iman adalah apa yang diyakini seseorang dalam hati. 
Sedang diskusi adalah apa respon berpikir seseorang terhadap sebuah topik persoalan.

Jika seseorang ingin mempertebal iman, diskusi agama bukanlah satu-satunya tempat. Seluruh aspek kehidupan, dari banyak pengalaman sehari-hari, momen-momen tertentu, bisa menginspirasi pada iman seseorang. Bahkan bisa sangat sangat menggetarkan. Misalnya karena mengalami peristiwa yang sangat menyedihkan, kesakitan yang tak tertahankan, kematian seseorang yang dicintai. Atau sebaliknya ketika mendaptakn keberuntangan yang luar biasa. Singkatnya, pupuk iman tidak selalu dalam bentuk kata-kata (ceramah dan diskusi). Alam dengan segala fenomenanya adalah vitamin iman bagi hati yang peka.

Tapi sebaliknya, jika ingin menikmati diksusi, jika ingin mengerti apa yang disampaikan orang lain, memamahami sebuah tulisan, menanggapi pendapat lawan diskusi, tidak bisa ditempuh dengan cara mempertebal iman. Seseorang yang rajin sholat, hafal 200 ayat Alquran, rajin ke gereja, hafal 389 ayat Alkitab, bukan jaminan dia mengetahui sejarah Islam. Bukan otomatis dia tahu Sejarah Yesus. Bukan jaminan ia memahami perbedaan antara Sunnah dengan Hadis. Bukan jaminan dia memahami konsep Trinitas. Bukan jaminan dia memahami konsep Ketuhanan menurut paham Mu’tazillah dan Ahlus Sunnah. Bukan jaminan dia bisa mencerna paham hulul Ibnu Mansur Al Hallaj. Dan …. Bukan jaminan dia bisa berdialog yang nyambung dan argumentatif dengan orang lain.

Iman adalah soal sikap bathin. Sedang disksui adalah soal cara berpikir. Iman seseorang bisa menembus sampai ke langit ke tujuh. Tapi belum tentu bisa menembus argumentasi lawan diskusi.

Saya tidak menyatakan bahwa berpikir lebih tinggi nilainya dari iman. Atau sebaliknya. Apalagi saya tidak menyakatakan bahwa iman tidak perlu dan harus dibuang. Jangan salah kaprah. Tapi pada tulisan ini saya bicara soal konteks diskusi agama. Apa sesungguhnya yang menjadi motor utama dalam sebuah diskusi agama.

Senjata iman adalah hati. Kepercayaan. Norman Vincent Peale, seorang Psikolog Kristen, pernah menyatakan secara simbolis bahwa keyakinan anda bisa memindahkan gunung. Dan saya menyambung kalimatnya. Benar keyakinan bisa menembus alam spiritual, tapi jangan lupa dan jangan latah menggenaralisir hal itu dalam segala cuaca. Jangan dicampurbaurkan. Tapi sesuaikan dengan konteks.

Keyakinan tidak bisa menembus argumentasi lawan bicara. Keyakinan tidak bisa menggugurkan pendapat lawan diskusi. Mengucapkan Allahu Akbar, nauzubillah, masya Allah, semoga anda ditunjuki oleh Allah, puji Tuhan Yesus dan sejenisnya, TIDAK bisa menggugurkan sebuah pendapat. Pendapat harus dihadapi dengan pendapat. Argmentasi harus dihadapi dengan argumentasi. Logika dan penalaran harus dihadapi dengan hal yang sama. Bukan dengan iman dan dogma.

Nikmatnya Menjadi Pelacur

Maaf, ini sudah pilihan hidup saya. Saya memang seorang pelacur. Tidak ada yang memaksa saya selain murni atas keinginan saya sendiri. Kenapa saya mau menjadi pelacur? Karena nikmatnya luar biasa. Anda boleh munafik. Tapi saya tidak.

Saya tahu anda mulai ngeres. Karena memang otak anda porno. Maaf. Karena cara berpikir anda juga porno. Tapi saya lain. Saya tidak melacur hanya di bidang porno. Tapi saya melacur dalam tiga hal:

Pertama, Pelacur Gagasan

Saya tidak puas bila hanya menyerap gagasan dari satu sumber, bila hanya dari satu orang, bila hanya dari satu buku, bila hanya dari satu tokoh. Apalagi bila hanya dari apa yang sanggup saya pikirkan sendiri. Sejauh yang saya tahu nyaris tidak ada seorang pemikir, cendekiawan, yang menjadi besar atas onani pikirannya sendiri. Benih gagasan mereka disiram oleh banyak gagasan lain dari banyak sumber. Imanuel Kant tidak tiba-tiba menjadi filsuf raksasa Abad Modern, tapi dia mulai merangkak dari menyerap banyak pemikiran filsuf sebelumnya. Begitu juga dengan Hegel, Marx, Nietczche, Derida, Foucalt, Yasraf Amir Piliang dan seterusnya.

Gagasan yang berputar-putar di kandang sendiri tak kan pernah besar selain hanya merasa besar sendiri. Dan biasanya sikap seperti itulah yang akan menjadi cikal bakal fundamentalisme. Buta akan gagasan dunia luar. Tapi mabok mengklaim dan memuja pemikiran sendiri. Dalam langit tempurung yang tertutup.

Itulah sebabnya saya selalu melacur kesana kemari. Menelusuri rimba raya gagasan dimana pun dapat saya temui. Untuk memperkaya dan memperluas cakrawala berpikir saya yang masih sumpek ini.

Kedua, Pelacur Spiritual:

Pada mulanya saya adalah seorang Islam fundamentalis. Islam sentris. Yang dibesarkan dalam lingkungan Islam rakyat, sebagai warisan dari cara pandang Islam di lingkungan keluarga sederhana, dari ceramah demi ceramah di mesjid, dari nasehat demi nasehat orang-orang taat di sekeliling saya.

Tapi entah kenapa setan ingin tahu selalu bermukim dalam kesadaran saya. Tidak pernah saya puas atas keyakinan yang dipaksakan ke dalam kesadaran saya. Entah kenapa saya merasa gerah dan terbelenggu. Entah kenapa saya tidak merasakan udara lapang Keislaman dari semua itu.

Maka dengan modal kebandelan dan semangat mencari yang tak pernah padam, saya memasuki rimba raya berbagai model keyakinan dan paham Keislaman. Meminjam istilah yang dinisbatkan para pengamat atas pemikiran Sufi-filosofis Ibnu Arabi, saya ibarat memasuki hutan rimba tanpa kompas. Menggiurkan sekaligus rawan tersesat tanpa tahu jalan kembali.

Tapi semangat mencari yang tak pernah padam membawa saya berjalan tanpa henti ke sana kemari. Mengintip dan memamah berbagai paham Keislaman. Bahkan juga paham-paham agama lain selain Islam. Bahkan juga paham gnostik, agnostic dan Atheis. Melalui buku, melalui tokoh-tokoh pemikir yang saya tidak pernah bertemu secara nyata. Tanpa rasa was was apalagi takut.

Dari pengalaman pribadi, yang pernah tertidur dalam paham Islam fanatik, saya bisa memahami apa yang dirasakan oleh umat Islam yang suka mengamuk dan para teroris atas nama jihad. Tidak lain dan tidak bukan adalah karena akal pikiran mereka sudah diselimuti oleh dogma agama. Saya tidak bermaksud menyalahkan dogma. Tapi yang namanya dogma tidak pernah bicara. Dia hanya diam dalam teks-teks kitab Suci. Tapi manusialah yang menghidupkan dogma itu dengan terang nalar dan penafsiran. Hingga spirit dogma menjadi cair dan selalu hidup sejalan dengan evolusi perkembangan zaman. Begitulah saya menghayati agama dan spiritualitas.

Itulah sebabnya saya menjadikan hati dan pikiran saya sebagai medan sirkulasi keluar masuk berbagai model keyakinan. Itulah sebabnya saya tak pernah henti melacur dengan sekian macam model paham keyakinan.

Ketiga: Pelacur gaya menulis

Pada mulanya saya belajar menulis dari guru bahasa Indonesia di sekolah. Kemudian merangkak ke kampus dimana saya kuliah. Saya diajarkan metode penulisan karya limiah. Mulai dari tata bahasa, struktur tulisan, hingga aturan main dalam menyajikan gagasan.

Tapi dari semua itu saya tidak menemukan kenikmatan dalam menulis. Jangankan kenikmatan, kegiatan menulis itu sendiri seperti hantu yang menakutkan bagi saya. Tidak jarang untuk menulis satu paragraf pertama saja sudah merontokan sel-sel syaraf saya. Ah … saya gerah. Apa artinya menulis jika hanya sebuah siksaan? Apa artinya menulis jika bukan menjadi sebuah tamasya kreativitas?

Maka sejak itu melacurlah saya ke berbagai buku tentang dunia tulis menulis. Saya mengintip bagaimana cara memasak sebuah tulisan yang enak dan gurih untuk disantap pembaca. Saya melatih diri terus menerus menulis menulis dan menulis, walaupun hanya untuk saya baca sendiri. Beberapa waktu saya pernah aktif menulis di Koran dan majalah. Tapi saya belum puas. Saya belum menemukan nikmat menulis dalam arti yang sebenaranya sesuai keinginan saya.

Maka saya kembali melacur. Mengintip cara-cara menulis dimana saja dapat saya temukan. Saya mengintip bagaimana gaya penyajian tulisan penulis-penulis favorit saya, baik dibidang penulisan, agama, filsafat, seni dan sastra. Dari tumpukan berbagai referensi itu saya melakukan uji coba terus menerus, hingga kini.

Saya mengaduk, memblender dan meracit berbagai bumbu, kecap dan ramuan gaya penyajian untuk teknik penulisan saya. Dan apa yang anda baca hari ini adalah hasil dari pelacuran teknik penulisan yang saya ramu dari sekian referensi. Hingga akhirnya saya temukan gaya yang memuaskan bagi saya sendiri. Hingga akhirnya menulis menjelma menjadi semacam libido kreatif yang tiada henti dalam diri saya, sebagai ranjang orgasme psikologis bagi saya sendiri.

Salam pelacur !


Kristen Islam Masih Puber!

Apakah anda marah membaca judul tulisan ini? Jika iya itulah tandanya anda belum dewasa. Masih puber dalam beragama. Masih suka mengamuk. Seperti anak-anak memperebutkan mainan. Ini punya saya itu punya kamu. Jangan ganggu punya saya nanti kamu gua tabok!

Meminjam konsep teori evolusi (jangan anda benturkan pada Kera), kesadaran manusia juga berevolusi terus menerus. Baik secara individu maupun kolektif. Sebagai contoh, samakah kesadaran anda, cara berpikir anda hari ini dengan cara berpikir manusia purba?

Itulah tandanya bahwa secara estafet, ada mata rantai perkembangan kesadaran manusia dari waktu ke waktu, dari kurun ke kurun. Dan itu terjadi sepanjang masa.

Begitulah riwayat agama dari sudut pandang antrophologi. Dari sudut pandang kebudayaan. Agama, sebagai salah satu budaya, juga mengalami evolusi dari waktu ke waktu. Baik dari sisi ajaran, kompleksitas risalah agama, apalagi dari sisi umatnya. Makin tua sebuah agama maka semakin matang penghayatan umatnya akan makna dari doktrin agamanya. Dan sekaligus makin matang pula ekspresi keagamaan umatnya di pentas sejarah. Di medan publik.

Nah, Islam termasuk agama bungsu dengan kakaknya Kristen. Tapi berbeda dengan Buddha yang sudah begitu jauh zaman kemunculannya. Dalam kajian fundamentalisme agama, Buddha tergolong agama yang nyaris tidak mengalami benturan lagi dengan agama-agama lain. Tidak terjadi gerakan Buddhaisasi seperti yang terjadi pada Islam dan Kristen. Karena sejauh yang saya pahami, konsep dasar Buddhisme adalah anti kemelekatan.

Perjuangan seorang Buddis adalah perjuangan jatuh bangun dalam membuang kemelekatan diri dari apa saja. Mereka butuh harta dan tetap mencari harta. Tapi hatinya, pikirannya tidak boleh melekat pada harta. Perjalanan keBuddhaan mereka adalah membuang segala bentuk kemelekatan, untuk akhirnya menjadi kosong. Menjadi Nirwana.

Nah, begitu juga dalam interaksi sosial mereka dalam hubungannya dengan agama. Ekspresi keagamaan seorang Buddhis adalah mengosongkan diri dari kemelekatan akan ambisi untuk menunjukkan dirinya sebagai seorang Buddhis. Apalagi untuk menarik-narik Setan Erianto Anas untuk menjadi seorang Buddhis. Apalagi untuk bersikeras mengatakan Buddha adalah ajaran terbaik dan terbenar di dunia.

Sejauh yang saya pahami, konsep Buddhisme dalam hal ini adalah juga bersifat nilai. Bukan ritual seremonial. Sepanjang seseorang bisa menghayati dan mengamalkan prinsip ketidakmelekatan, itulah seorang Buddhis sejati. Siapa pun mereka. Apapun label agamanya. Sepanjang prinsip itu sudah menjadi pakaian pada pribadi seseorang, pada hakikat itulah seorang Buddhis. Universal sekali !

Sebenarnya, dalam pandangan saya, Islam Kristen juga demikian halnya. Agama yang mengemban Risalah Tuhan yang juga bersifat universal bagi manusia. Meminjam teori relasional antara Ada dan Penanda, Tuhan dengan Manusia (alam) selalu berkorelasi secara spiritual sepanjang masa. Tak pernah putus. Wahyu dan Kenabian, Ibrahim, Musa, Daud, Yesus, Muhammad, adalah jejak relasi Tuhan secara estafet di muka bumi. Dan risalah itu tetaplah Unviersal. Karena sumbernya toh juga dari Sang Universal. Dari Tuhan. Hanya saja karena setiap jejak Tuhan menapak di suatu zaman, maka dimensi historis melekat pada inti ajaran disetiap agama tersebut secara bertahap. Dan sebagai manusia yang hidup dalam sejarah, manusia di setiap zaman tersebut tidak bisa serta merta sim salabim dewasa secara spiritual. Tetap mereka harus melewati proses evolusi kesadaran religius yang tiada henti. Baik secara indivdu maupun kolektif.

Dari sudut pandang ini, maka bisa dipahami kenapa Budhha, para Buddhis tidak galak seperti umat Islam dan Kristiani dalam percaturan agama di medan publik. Dan … lebih-lebih Islam sebagai agama yang paling muda. Dan hal ini bisa dibuktikan pada setiap kali terjadi dikusi dan perdebatan di lapak agama di Kompasiana.

Mereka masih menghayati agama sebagai hak milik. Ini agama saya itu agama kamu. Ini Tuhan saya itu Tuhan kamu. Ini kitab suci saya itu kitab suci kamu. Dan secara psikologis, kesadaran mereka menempel pada apa yang mereka yakini. Menempel pada label. Menempel pada Alquran, menempel pada Alkitab, menempel pada Allah Yang Maha Esa, menempel pada Yesus Tuhan Anak, menempel pada Trinitas dan seterusnya.

Itulah sebabnya secara simbolis sikap mereka tersimpul dalam kalimat versi saya ini:

Jangan ganggu-ganggu punya gue. Nanti lu gua tabok!

Dan itulah bentuk kemelekatan mereka. Apa yang mereka peluk seakan identik dengan diri mereka sendiri. Bila ada yang mengkritik Islam, mereka merasa yang diktritik adalah diri mereka sendiri. Bila ada yang mengkritik Tirnitas dan Alkitab, mereka merasa dirinya yang diktirik. Mereka tidak bisa memisahkan antara dirinya sebagai yang meyakini dengan semua properti keagamaan itu sendiri. Walaupun menurut mereka sikap itu adalah wujud dan bukti kecintaan mereka pada agamanya masing-masing. Tapi secara hakikat, sebenarnya mereka sedang membela egoismenya sendiri.

Meminjam konsep cinta Erich Formm, ekspresi cinta yang paling rendah adalah pemujaan terhadap egoisme sendiri. Hasrat untuk memiliki dan mempertahankan secara fisik. Pada benda, pada status, pada identitas, pada label dan seterusnya. Tapi ekspresi cinta tertinggi adalah cinta pada Tuhan. Dan cinta pada Tuhan tak berwujud. Karena mencintai Tuhan adalah mencintai ajarannya. Mencintai nilai-nilai religiusitasNya. Bukan pada atribut-atribut seremonialnya.

Karena itulah tidak ada lagi istilah agama saya agama kamu. Kitab Suci saya Kitab Suci kamu. Toh semua itu bila dipandang dengan cakrawala substansial, semua itu pada intinya juga milik Tuhan yang Satu. Tuhan Universal. Pemilik segalanya. Manusia hanya pemakai. Manusia hanya para penganut. Manusia hanya para penghayat.

Lalu kenapa masih banyak Kompasianer yang masih getol menggunakan kalimat: agama anda agama kami? Tuhan anda Tuhan kami? Nabi anda Yesus kami? Pihak anda pihak kami?

Bisakah sikap itu dikatakan bahwa mereka belum dewasa dalam beragama?


Tuhan Diantara Dua Jari Saya

Hati-hati anda membaca judul tulisan ini. Saya terinspirasi dari ayat Alquran yang menyatakan bahwa hati manusia dibolak-balikkan Tuhan diantara 2 jariNYa, yaitu setan dan malaikat. Ungkapan itu sangat puitis. Dan memang Tuhan nyatakan dalam Alquran bahwa Dia mengajarkan manusia melalui banyak perumpamaan atau kiasan (bahasa puitis).

Dua jari saya di sini adala akal dan hati.

Dengan ini saya nyatakan bahwa saya asli seorang muslim. KTP saya Islam. Keluarga saya Islam. Dalam sehari-hari saya juga seperti orang Islam yang juga melaksanakan ritual Islam (semampu saya tentunya). Tapi dalam diri saya muncul pertanyaan: Apakah dengan semua itu saya sudah merasa Islam dalam pengertian yang sesungguhnya? Jawaban saya tidak. Karena saya diIslamkan oleh orang tua saya sejak saya dilahirkan. Tanpa persetujuan saya.

Lalu seperti apa Islam yang sesungguhnya? Jawabannya tentu ada dalam Alquran. Tapi apa yang saya temukan? Ayat demi ayat dalam Alquran bagai sisi mata berlian. Memantulkan banyak makna. Singkat cerita sangat tergantung pada bagaimana cara menafsirkannya. Dan ini sudah menguras sekian tahun umur saya untuk mencari jawabannya dari berbagai guru dan tumpukan buku. Apakah saya menemukan jawaban yang tegas? Ternyata dugaan saya meleset. Setiap jawaban melahirkan pertanyaan baru yang tak berkesudahan. Perburuan pertanyaan demi pertanyaan itu akhirnaya memukul mundur pikiran saya sampai batas terakhir sebuah kepercayaan, yaitu pada pertanyaan siapa itu Tuhan? Benarkah Tuhan itu ada?

Setahu saya inilah pergulatan pemikiran yang paling pelik sepanjang sejarah manusia, baik dari sudut pandang Agama maupun Filsafat.

Sementara alat untuk mendeteksi Tuhan yang melekat pada diri saya adalah panca indra, akal dan hati. Maka saya gunakanlah semua alat ini untuk mencarinya. Dan sampai hari ini saya tidak menemukan bukti adanya Tuhan melalui panca indra. Ini dikenal dengan istilah bukti empiris.

Kemudian saya meremas otak, memikirkan Tuhan dengan akal. Membangun premis-premis dan proposisi-proposisi logika. Maka saya temukan beragam jawaban. Pikiran saya bisa menyimpulkan bahwa Tuhan itu ada. Lalu bagaimana keberadaan Tuhan itu? Dan bagaimana relasinya dengan diri saya dan alam? Maka juga saya temukan beragam jawaban. Mulai dari Monotheisme, Monisme, Pantheisme, Wadhatul Wujud, Transedensi, Imanensi, dan seterusnya.

Tapi di sisi lain konstruski pikiran saya juga bisa menyimpulkan bahwa Tuhan itu tidak ada. Karena setiap penalaran yang memyimpulkan bahwa Tuhan itu ada juga bisa digugurkan dengan menukar sudut pandang. Menukar cara berpikir. Atau yan dikenal dengan istilah menukar model epistemologi yang digunakan.

Karena utak-atik pikiran bisa melahirkan beragam jawaban, maka itu artinya saya tidak mendapatkan jawaban yang pasti tentang Tuhan. Semua yang saya pikirkan nilainya tetaplah permainan cara berpikir. Secanggih apapun cara berpikir yang saya gunakan. Jadi sifatnya tetap relatif.

Tapi di sisi lain, hati saya tetap merasakan sesuatu yang ganjil. Ada suatu perasaan yang tidak saya mengerti. Selalu ada suatu Misteri hidup yang melingkupi diri saya. Apakah itu suatu bukti adanya Tuhan? Hati saya bisa mengatakan ya. Karena saya merasakannya. Ada getaran, ada kegelisahan, ada kerinduan, pada Sesuatu X yang tidak bisa dijabarakan. Melampaui segala bahasa.

Tapi di sisi lain kembali akal saya mengatakan bahwa apa yang saya rasakan itu tidak bisa dijadikan sebagai bukti adanya Tuhan. Karena itu adalah respon psikologis saya terhadap Misteri dan makna hidup, dimana rasa seperti itu akan berbeda-beda pada setiap orang. Subjektif. Sedangkan bukti yang saya pahami adalah sesuatu yang objektif, dimana semua orang akan mengakuinya tanpa bisa digugurkan dengan alasan apapun, seperti bukti adanya bumi, matahari dan seterusnya. Karena semua manusia dengan panca indranya akan bisa menyaksikan dan mengakuinya. Sedangkan klaim adanya sapaan Tuhan yang saya rasakan dalam hati belum tentu semua orang akan merasakannya. Karena bagi orang lain bisa saja mereka artikan hal itu hanya sebuah perasaan sedih, galau dan rasa haru saja misalnya.

Dan di atas semua itu akal saya kembali menyimpulkan bahwa segala properti kemanusiaan yang saya miliki (panca indra, akal dan hati), tetaplah sesuatu yang bersifat alamiah. Bukan Illahiah. Dimana hasil pencerapannya juga akan tetap bernilai pemahaman yang bersifat alamiah. Sedangkan yang akan dipahaminya adalah sesuatu yang melampaui kodrat kemanusiaannya. Melampaui kodrat alamiahnya.

Tapi bagaimana pun akal saya tetap mengeneralisir semua itu, di sisi lain getaran Misteri yang terasa di hati saya tetap saja tidak padam. Ia selalu terasa.

Inilah yang saya katakan sebagai medan pertempuran pencarian dan penghayatan akan Tuhan dalam diri saya. Tuhan diantara dua jari saya: Akal dan hati.

Karena itulah hingga hari ini saya berkesimpulan, bahwa pernyataan adanya Tuhan bukanlah sebuah BUKTI, tapi adalah KEYAKINAN. Secara empiris dan akal saya tidak menemukan BUKTI adanya Tuhan. Tapi secara hati saya menyakini adanya sesuatu X yang dinamakan Tuhan.

Perbedaan kedua hal ini sangat penting bagi saya, agar saya tidak memandang dua hal ini secara sewenang-wenang: Bukti adanya Tuhan di satu sisi, dan Keyakinan adanya Tuhan di sisi lain. Manakala dua hal ini saya campurbaurkan, maka resiko di tataran praktisnya sangatlah besar. Saya akan mengklaim apa yang saya yakini sebagai sesuatu yang mutlak. Dan akan berjuang mempertahankan dan mungkin juga memaksa orang lain untuk mengakuinya. Tapi ketika saya pisahkan dua hal ini, maka saya bisa tersenyum ketika orang lain menyakini Tuhan dan agama dengan cara mereka masing-masing.

Saya merasa punya sikap positif dan toleransi bila bergandengan tangan dengan siapa saja, walaupun keyakinan saya dengan mereka berbeda. Karena saya sudah memaklumi bahwa keyakinan itu adalah suatu penghayatan saya pribadi, suatu wilayah privasi yang tidak akan bisa diusik oleh klaim-klaim apapun.

Tuhan Itu Ciptaan Saya!

Saya tahu anda kaget membaca judul tulisan ini. Tapi judul tulisan ini tidak salah. Bukan akal-akalan. Bukan karena ingin membius perhatian anda. Tapi memang karena sayalah yang menciptakan Tuhan. Bagaimana cara saya menciptakanNya?

Anda tidak perlu bingung. Karena anda juga bisa menciptakan Tuhan. Berapa pun anda mau. Dan berapa besar ukuran Tuhan yang akan anda buat. Bahkan anda juga bisa membuatnya satu lusin dalam satu hari. Tapi jika anda masih bingung bagaimana cara membuatnya, berikut langkah-langkahnya.

Pertama:

Setahu saya dan sejauh yang saya alami, saya memahami Tuhan tidak bisa lepas dari panca Indra yang saya miliki. Dan hanya dengan panca indra itulah saya berhubungan dengan diri dan dengan dunia sekitar saya. Yaitu dengan mata, telinga, lidah, hidung dan tangan serta kaki (kulit). Itulah alat yang saya gunakan untuk melakukan kontak dengan alam. Dan jujur sejauh ini saya belum menemukan Tuhan dengan kelima alat itu. Entah kalau sudah ada software yang bisa menangkap Tuhan di zaman yang sudah super canggih ini.

Kedua:

Selain panca indra, yang hanya bisa mencerap dunia empiris, sejauh ini saya juga punya akal dan hati. Nah dengan kedua alat inilah saya menjelajah menembus sampai ke langit ketujuh, sampai ke zaman lampau, sampai ke akhir zaman, bahkan sampai mengintip sorga dan neraka. Tapi tubuh saya tidak beranjak dari depan komputer, dari duduk di atas sajadah, dan tidak beranjak dari muka bumi.

Lalu benarkah saya sudah menemukan Tuhan?
Hati saya menjawab sudah. Apa buktinya? Jauh di dasar hati, dalam kesunyian saya, selalu tersimpan rasa takut, rasa hampa, rasa entah yang tidak pernah bisa saya mengerti. Dan tidak pernah terpuaskan walapun seisi bumi akan saya miliki. Ada misteri yang selalu menyelimuti keberadaan saya.

Lalu karena dicekam rasa takut akan misteri itulah saya meyakini ada sesuatu yang Maha Tinggi. Sesuatu yang melampaui segalanya. Dan itulah Tuhan.

Tapi karena saya juga ada akal, maka segala rasa keterbatasan yang akhirnya meloncat secara vertikal untuk mengakui adanya Tuhan itu dikritik oleh akal saya, bahwa itu hanya pantulan dari ketidakberdayaan saya. Itu artinya Tuhan identik dengan batas ketidaksanggupan saya. Dan batas dari ketidaksanggupan itu berbeda-beda pada setiap orang, tergantung pendidikan, lingkungan sosial budaya, nalar dan psikisnya, dan masih banyak lagi.

Dan itu terbukti ketika saya masih kecil bahwa Tuhan adalah seorang raksasa yang sedang duduk dibalik awan. Tapi begitu saya belajar ilmu bumi dan antariksa, maka imajinasi saya tidak melihat lagi Tuhan dibalik awan. Tapi sudah saya geser entah letaknya di mana, mungkin di luar alam semesta. Kalau diluar alam semesta dimana? Apa wadahnya? Apa ada dua wadah? Alam di satu sisi dan Tuhan di sisi lain? Ah..! Tidak mungkin. Berarti ada dua wujud. Padahal dalam Alquran saya diajarkan hanya Tuhan yang Wujud. Tunggal tiada duanya. Tiada sekutu bagiNya.

Lantas?
Berarti semuanya adalah Tuhan. Baru sesuai bahwa hanya ada satu wujud. Lho berarti saya juga Tuhan? Ah.. tidak mungkin. Karena konsekwensinya ketika saya menyembah, berarti saya menyemba saya. Apa mungkin? Ah.. bisa kacau sob. Tidak mungkin. Saya adalah saya dan Tuhan adalah Tuhan.

Tapi jika saya anggap terpisah, melalui apa saya bisa kontak dengan Tuhan? Berarti ibaratnya harus ada pipa penghubung antara saya dengan Tuhan. Saya jadi teringat teori relasional. Bahwa selau ada mata rantai yang tiada putusnya antara sesama berbagai partikel alam semesta, termasuk akhirnya dengan Tuhan.

Hmm … kalau begitu, jika serentak selalu ada siklus mata rantai hubungan yang tidak putus, berarti keberadaan saya bisa serentak dengan Tuhan. Serentak munculnya. Kalau tidak serentak, apalagi yang akan menjadi kutub lawan dari relasional Tuhan? Tuhan sendiri tanpa alam? Mungkinkah masih disebut Pencipta jika tidak ada ciptaanNya? Ah … inikan permainan bahasa. Language Game kata Wittgenstein. Bahasa untuk bahasa. Pemainan bahasa yang tidak ada hubungannya dengan realitas.

Saya mundur kembali, mengakui bahwa Tuhan dan alam satu. Relasional Absolut. Kalau begitu berarti saya ikut bersifat azali seperti Tuhan? Hmm …. Kalau begitu berarti saya bukan diciptakan Tuhan. Karena begitu Tuhan ada serentak saya juga ada. Apakah itu mungkin? Buktinya saya hadir ke dunia ini dilahirkan oleh ibu saya kok. Baru saja tahun kemaren. Sedangkan Tuhan sudah ada jauuuuh sebelum saya dilahirkan. Haha.. yang benar saja Bung Erianto Anas… pikiran anda sudah sesat nih tobat tobat!


Ketiga:

Dalam Alquran tidak sedikit jumlah ayat yang menggambarkan tentang Tuhan. Baik dengan pernyataan yang terang maupun yang tersirat. Saya tidak hafal ayatnya. Tapi saya masih bisa mengingat pengertiannya. Dan sejauh yang saya pahami, ayat-ayat tentang Tuhan juga menjawab setiap proses pertanyaan saya di atas. Dinyatakan Tuhan itu Satu di satu sisi. Tapi di sisi lain juga menempati posisi sebagai yang banyak. Ini saya pahami karena dalam banyak ayat Tuhan juga menggunakan kata Kami. Jadi bukan hanya kata Aku.

Apakah itu artinya Tuhan menyatu dengan hamba?
Juga ada ayat yang menyatakan bahwa Dia lebih dekat dari urat leher hambaNya.

Dan ayat lain juga ada yang menyatakan bahwa ketika seorang hamba melayat saudaranya yang sedang sakit, sesungguhnya itu sama juga artinya dia sedang melayat Dia.

Dan ayat lain juga ada yang menyatakan bahwa kemana pun seorang menghadapkan wajahnya maka di situ ada wajah Tuhan.

Tapi ayat lain juga ada yang manyatakan dengan tegas bahwa Dia tidak serupa dengan makhlukNya. Dia tidak terbetik oleh apa yang dipikirkan oleh HambaNya.

Dan masih banyak ayat lain dengan pengertian yang senada. Baik yang menggambarkan Dia satu dengan alam (hamba) maupun yang menyatakan Dia terpisah (berbeda) dengan alam.

Lalu apakah semua itu sudah menjawab pertanyaan saya tentang Tuhan secara final?
Jujur saya jawab tidak. Alquran tidak menjelaskan secara gamblang dimana posisinya secara persis, seperti sebuah buku yang menjelaskan sebuah persoalan secara sistematis dan mengerucut pada satu kesimpulan.

Penggambaran Tuhan dalam Alquran tersebar berpencar dalam banyak ayat seperti kepingan-kepingan mozaik yang harus dipahami secara metaforis dan paradoks. Jadi bukan sebuah penjelasan yang detail dan harfiah. Justru ketika dipahami secara harfiah, Tuhan justru menjadi seperti imajinasi kanak-kanak. Tuhan duduk bersila dilangit, Tuhan duduk di atas kursi di Araysnya. Sudah berkali-kali saya memaksa dan menyiksa diri agar pernyataan harfiah itu bisa saya yakini. Tapi hingga hari ini saya tidak berhasil. Dan kalaupun pernah itu saya yakini, sebenarnya hanya diyakin-yakinkan alias pura-pura yakin. Maka saya pun kemudian berjuang memahaminya secara metaforis (kiasan). Dan dalam Alquran juga diulang-ulang bahwa Tuhan mengajarkan manusia melalui perumpamaan (kiasan), agar manusia itu berpikir.

Lalu apa kelanjutan perjalanan saya tentang Tuhan?

Secara naluri, walaupun berlandaskan ayat-ayat dalam Alquran, yang tidak detail, tetap saja imajinasi dan konstruksi pikiran saya berusaha mencari dan membangun sosok Tuhan. Baik dengan pikiran maupun dengan rasa. Tapi pertanyaannya kemudian adalah apakah saya behasil? Jawaban saya tidak. Karena imajinasi saya juga berubah dan berkembang sejalan dengan pertambahan pengetahuan, pengalaman dan perenungan saya. Akibatnya Tuhan yang saya pahami juga ikut mengalami perubahan dan perkembangan, yang sudah terjadi entah berapa kali sejak saya mulai mengenal kata Tuhan. Mungkin sudah sekian ratus kali.

Artinya saya sudah berkali-kali membangun Tuhan dalam pikiran saya. Lalu saya bunuh dan saya bangun lagi Tuhan yang baru dan begitulah seterusnya sampai hari ini.

Tapi benarkah itu Tuhan?
Jawaban saya tidak!

Saya hanya sedang berjuang membangun sosok Tuhan dalam pikiran saya.
Itu artinya saya sedang menciptakan Tuhan.

Lalu apakah saya sudah keterlaluan?
Saya anggap tidak. Saya berbicara atas nama kejujuran dari apa yang terbetik jauh di dasar hati saya. Pertanyaan-demi pertanyaan yang tidak pernah terjawab.

Saya akui sudah melimpah nasehat dan ceramah soal Tuhan bertebaran di mana-mana, bahkan ada yang sampai marah-marah untuk mengatakan bahwa Tuhan itu begini begitu, sehingga saya harus percaya. Wajib. Kalau tidak, saya jadi syirik, kafir dan masuk neraka!

Saya benar-benar tidak bisa meyakini Tuhan yang dihafal. Apalagi Tuhan yang diancamkan dengan syirik dan neraka. Jujur saya tidak takut dengan ancaman neraka yang dikeluarkan oleh manusia. Walaupun gelar spiritualnya sampai ke langit keujuh. Karena apa? Karena neraka itu sudah ada dalam dada saya. Dalam kegelisahan saya. Tanpa diancam pun saya sudah berada dalam neraka.

Tuhan, bagi saya adalah sesuatu yang sangat pribadi. Sesuatu yang bergetar dalam hati. Dalam konstruk pikiran saya. Dan dalam penghayatan hidup saya.

Lalu apa kesimpulan akhir saya tentang Tuhan?

Ternyata hingga hari ini saya tidak tahu tentang Tuhan!
Dan mungkin tidak akan pernah mengetahui Tuhan yang sebenarnya.


Ternyata hingga hari ini, tidak ada yang bisa saya perbuat melebihi keterbatasan saya sebagai manusia. Dengan segala dimensi kemanusiaan terbatas yang saya miliki. Karena kenyataannya, saya tidak bisa beranjak memeluk Tuhan yang ada dalam imajinasi saya. Walaupun saya tahu itu bukanlah Tuhan yang sebenarnya. Tapi hanya bayangan saya tentang Tuhan. Pikiran saya tentang Tuhan.
Oh … Tuhan!




Tersungkur di Kaki Tuhan!

Apa yang aku tangiskan..?
Kesombonganku ditampar, roboh. Jatuh!
Hingga gerimis mengalir, basah
Bergetar di ruang bathinku
Oh … Kebenaran!



Banyak sudah ditulis cerita tentang kebenaran. Tentang agama, tentang kitab suci, tentang Tuhan. Dari kotbah, dari diskusi, dari perdebatan, dari pertengkaran. Semuanya berkisah tentang Kebenaran.

Tapi apa itu Kebenaran?
Banyak sudah definisi dibangun. Bahkan dipahat sejak sekian Abad silam. Megah, kokoh seperti piramida Mesir Kuno. Elegan seperti patung Liberti Amerika. Berjuta nostalgia kisah Kebenaran ditulis tinta emas. Dipuja dan dinyanyikan dimana-mana. Dan berkali-kali dilemparkan sudah ke telingaku.

Tapi hatiku membatu…

Di mana Kebenaran itu bersembunyi?
Sudah tak terhitung aku sujud di sajadah. Menengadah dan memuja Tuhan.

Tapi hatiku membatu ….

Hanya bisa dihitung dengan jari aku merasa disentuh Kebenaran.
Tapi saat itu sekujur bathinku bergetar,
Terbakar!
Mabuk terminum anggur spiritual
Seakan seisi bumi tak berarti
Seakan cukup sudah apa yang kumiliki
Karena di pintu Tuhan segalanya menjadi tak berarti

Tapi Kebenaran tak selalu datang menyapa
walau kutamat membaca Alquran 1 kali sehari
walau ku sholat 50 rakaat satu hari
walau ku puasa tiap hari
walau dan walau ...

Sudah lama aku tak merasakan Kebenaran
Yang sanggup menggetarkan hati ini
Tapi tahu-tahu,
Sebelum kutulis kata-kata ini,
Aku kembali tersungkur,
Malu dan malu
Membaca kisah seorang tua renta sederhana
Yang menemukan Tuhan dalam kepapaannya
Ingin kucari sosoknya
Tapi sayang,
Hanya kutemukan batu nisannya 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar