Kamis, 06 Januari 2011

Lebih Baik Mana : Pengusaha Atau Pekerja?

Saya mengira perdebatan itu sudah berakhir. Ternyata tidak. Padahal, objeknya sama sekali tidak terlampau esensial. Premis yang paling sering diucapkan adalah; Anda tidak akan pernah kaya jika menjadi pekerja. Jadilah pengusaha, maka anda akan kaya. Itu yang pertama. Yang kedua; Anda tidak akan bisa memiliki waktu untuk keluarga jika jadi pekerja. Jadilah pengusaha, maka anda bisa mengatur waktu anda sendiri.
Oleh karenanya, ada yang beranggapan bahwa; menjadi pengusaha itu lebih baik daripada menjadi pekerja.  Sebaliknya, sang pekerja menentangnya mati-matian; terutama mereka yang bagus karirnya, tentu saja. Tetapi,  sebagian besar karyawan yang biasa-biasa saja hatinya deg-degan. Setiap kali ada pernyataan bahwa menjadi  pengusaha itu lebih baik daripada menjadi pekerja; hatinya gundah gulana. Hingga tidurpun tidak nyenyak  dibuatnya. Tetapi, manakah sesungguhnya yang lebih baik; menjadi pengusaha, atau pekerja?
Bagaimanapun juga, perdebatan ini sering tidak seimbang. Mereka yang pengusaha nyaris selalu menjadi pemenangnya. Dan para pekerja yang memiliki emotional state kurang stabil, tidak bisa segera menetralisir pengaruh negatifnya. Setiap anggapan yang belum tentu benar itu sangat mempengaruhi dirinya. Dimasukan kedalam hati. Meresap. Menyerap. Dan akhirnya mereka menemukan dirinya terperangkap. Mereka bertanya-tanya; ’jangan-jangan, memang seharusnya aku menjadi pengusaha’.
Lalu perhatiannya terkuras kesana. Pikirannya tidak fokus kepada pekerjaan. Dan karena berlangsung terus-menerus, maka prestasi kerjanya merosot. Mereka hanya menjadi pekerja yang biasa-biasa saja. Dan karena prestasi kerjanya biasa-biasa saja, dia tidak dipromosi.
Karena tidak dipromosi; dia tidak mendapatkan kenaikan gaji tinggi, apalagi fasilitas yang memuaskan. Dia tidak mendapatkan apa-apa selain penghasilan yang pas-pasan. Semakin yakinlah dia bahwa; menjadi pekerja berarti menanggung resiko untuk menjadi miskin. Maka, menjadi benarlah dimatanya bahwa kalau mau menjadi kaya, ya jangan jadi pekerja. Jadilah pengusaha. Satu kosong untuk mereka yang menganggap bahwa menjadi pengusaha lebih baik dari pekerja.
Teman saya yang pengusaha, jam delapan pagi masih dirumah. Pergi ke kantornya jam setengah sembilan. Sebelum beduk magrib berbunyi dia sudah kembali dirumahnya. Teman saya yang lain, jam setengah enam pagi sudah membuka pintu rumahnya. Naik ojek. Menunggu bis. Dan sampai ke kantor jam delapan. Jam lima sore, dia keluar dari kantornya, dan tiba dirumah jam delapan malam. Dia teringat lagi; oh, memang nyaman menjadi pengusaha.
Bisa enak leha-leha. Sementara sang pekerja seperti saya? Bekerja banting tulang untuk memuaskan nafsu kapitalisme mereka! Lalu, sikap negatif itu mempengaruhi dirinya. ”Ngapain gue musti banting tulang begini? Kepala jadi kaki, kaki jadi kepala!”
Dengan cara berpikir begitu, tidak mungkin dia bisa menjadi pekerja yang berhasil. Haha, makanya, kalau mau hidup enak; jangan jadi pekerja. Jadilah kamu pengusaha. Dua kosong.
Manusia-manusia bermental pekerja kalah telak. ’Manusia bermental pekerja?’ Beberapa teman saya yang pekerja tulen tersinggung dengan sebutan itu. Saya sebaliknya. Bangga saja. Sebab, jika saya benar-benar bermental pekerja, pasti saya bisa menjadi seorang pekerja yang sangat hebat. Ya, untuk berhasil ditempat kerja, saya harus memiliki mental pekerja. Mengapa saya harus tersinggung dengan sebutan itu?
Memang, perkataan orang lain bisa membuat telinga kita terasa panas. Dan terpengaruh secara emosional.Tetapi, itu terjadi hanya jika mental kita lemah saja. Jika mental kita kuat, tidak jadi masalah. Lagi pula, manakah yang anda pilih; disebut ’manusia bermental pekerja’ atau ’manusia bermental lemah’? Mental anda tidak lemah.
Itulah faktanya. Jadi, santai saja. Sebaliknya, jika anda seorang pengusaha; anda juga tidak perlu membuang waktu berharga anda itu untuk memperdebatkannya. Tidak perlu lagi memperdebatkan; ’mana yang lebih baik bagi manusia – kita ini kan manusia – apakah menjadi pengusaha, atau pekerja?’
Masih segar dalam ingatan saya saat dimana saya mengatakan; ”Baiklah, anda menganggap bahwa menjadi pengusaha itu lebih baik daripada menjadi pekerja.” Teman saya sumeringah:”Ya, tentu saja.” katanya.
”Hanya jika anda menjadi pengusaha yang sukses, bukan?” kata saya.
”Oooh, iya dong.” Jawabnya. Semua temannya yang dalam komunitas pengusaha mendukungnya. Mereka membanggakan statusnya sebagai pengusaha.
Mau tidak mau, saya harus mengatakan kepada teman saya ini bahwa; untuk menjadi pengusaha sukses itu, mereka tidak bisa mengerjakannya sendirian. Mereka tidak menyukai pernyataan saya. Tetapi, mereka tidak memiliki pilihan lain selain sependapat dengan saya. Harus ada orang lain yang bekerja untuk menjalankan usahanya.
Jika seorang pengusaha ingin agar usahanya benar-benar sukses – bukan sekedar sukses-suksesan – harus ada orang yang bersedia mencurahkan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk memastikan bahwa bisnis itu berjalan. Tanpa mereka itu, tidaklah mungkin perusahaan sang pengusaha itu bisa benar-benar berkembang dan membesar.
Artinya, tanpa manusia-manusia yang dicap sebagai mereka yang bermental pekerja itu; bisnis sang pengusaha tidak akan pernah mencapai kesuksesan. Pendek kata, kesuksesan para pengusaha itu sangat ditentukan oleh kontribusi yang diberikan. Dedikasi yang dicurahkan. Serta kompetensi yang dikerahkan. Oleh manusia-manusia dari jenis yang bermental pekerja itu.
”Tanpa mereka itu,” begitu saya melanjutkan; ”Apakah usaha anda bisa benar-benar berhasil?” Kemudian, saya mengakhiri semua pembicaraan itu dengan mengatakan; ”Jika semua orang harus menjadi pengusaha, siapa yang akan menjadi pekerja untuk kita?”
Pentingnya keberadaan seorang pengusaha, memang tidak terbantahkan. Namun, seperti apa yang kita pelajari dalam manajemen bisnis; karyawan, adalah aset terpenting dalam perusahaan. Tidak ada cara lain bagi sebuah organisasi bisnis untuk tumbuh dan berkembang; selain dengan mejadikan karyawan-karyawannya sebagai manusia-manusia pekerja yang hebat. Jika tidak, tak satupun pengusaha yang bisa mengembangkan bisnisnya. Sebab, begitulah adanya.
Secara alamiah, manusia pengusaha dan manusia pekerja ada untuk saling berkontribusi. Seperti kanan dan kiri. Siang dan malam. Yin. Dan Yang.
Tidak ada gunanya bagi seorang pengusaha untuk membuang-buang waktunya membual bahwa menjadi pengusaha itu lebih baik. Tidak ada gunanya bagi seorang pekerja untuk membuang waktunya memikirkan dengan was-was apakah pilihannya untuk menjadi pekerja itu sudah benar atau tidak. Pengusaha, atau pekerja; memiliki perannya masing-masing.
Sama-sama penting. Sama-sama berharga. Sama-sama baik adanya. Jika anda pengusaha, pekerja-pekerja andalah yang akan menjadikan usaha anda berhasil. Jika anda pekerja, pilihannya hanya satu saja; menjadi pekerja yang hebat.
Jika anda sungguh-sungguh berkarya melalui pekerjaan yang anda miliki; anda pasti mendapatkan semuanya itu. Jadi, tenang saja. Dan bekerja saja. Dengan segenap kemampuan anda yang sesungguhnya;
Anda pasti bisa.
Hore,
Hari Baru!
Catatan kaki:
Bukanlah status yang menentukan nilai hidup kita, melainkan; kontribusi yang bisa kita berikan kepada dunia.
Oleh : Dadang Kadarusman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar